KH. Drs. Moh. Dawam Anwar
Mohammad Dawam adalah anak sulung dari tujuh bersaudara, dari pasangan suami-istri H. Anwar bin H. Abd. Rahman dan Dewi Rowiyah binti Munawir. Beliau yang memiliki nama kecil masdawam dilahirkan di sebuah dusun di pinggir kota Jombang bernama Genukwatu pada tanggal 12 Agustus 1938. Masa kecilnya larut dalam zaman penjajahan. Meski demikian, semangat untuk menuntut ilmu yang dimilikinya tak pernah padam atau tergeser oleh pergolakan dan peperangan arek-arek Suroboyo melawan penjajah saat itu.
Dawam kecil amat gemar menuntut ilmu. Hari-harinya selalu terisi dengan aktifitas membaca dan menghafal pelajaran. Pada saat ia duduk di kelas III ibtidaiyah/SD ia sudah hafal dengan baik kandungan kitab sharaf (Al-Amtsilah at-Tashrifiyah) karya KH. Ali Ma’shum. Ketika ia duduk di kelas di kelas VI, ia telah hafal seluruh bait-bait Alfiyah Ibnu Malik, dan dapat menuturkannya dengan lancar baik dari depan maupun dari belakang. Maka tidak mengherankan jika semua guru yang mengajarnya amat menyukai dan menyayanginya karena predikat bintang kelas selalu dapat disandangnya.
Minatnya dalam pelajaran bahasa Arab mulai terlihat sejak beliau masih duduk di bangku ibtidaiyah/SD. Memperdalam bahasa Arab menjadi hobi yang sangat digemarinya. Hal tersebut kelak memberikan dampak yang positif dan manfaat yang luas bagi masyarakat di saat beliau memimpin pesantren. Modal kuat yang dimilikinya dalam bidang bahasa Arab beliau sumbangsihkan kepada berbagai pesantren di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta. Keistimewaan itulah yang membawa keberhasilan beliau dari tingkat I langsung naik ke tingkat III pada saat menjalani studi di Fak. Adab IAIN Jakarta (Sekarang UIN Syahid Jakarta) pada periode 1968-1975. Kepiawaiannya dalam berbagai bidang keilmuan dan bahasa Arab selalu mengundang apresiasi, dan berbagai bentuk penghargaan telah disandangnya baik dari dalam maupun luar negeri, seperti penghargaan sebagai sarjana teladan Fak. Adab IAIN Jakarta, penghargaan dari Rabithah ‘Alam al-Islamy sebagai peserta terbaik dengan nilai mumtaz (cum laude) pada acara Penataran Muballigh Internasional, penghargaan dari Brunei Darussalam University sebagai narasumber pada Seminar Internasional tentang pengembangan bahasa Arab, dan sederet prestasi lainnya.
Kyai Dawam yang sangat fasih berbicara bahasa Arab dan Inggris, dan pernah mendalami Bahasa Perancis ini, dengan izin Allah swt, pada tanggal 11 Pebruari 1972 menikahi seorang gadis Bekasi lulusan Pondok Pesantren Seblak–yang juga pernah menjadi muridnya–bernama Nurhaidah Abdillah (putri perintis dan pendiri YAPINK). Melalui pernikahannya, beliau dikaruniai 4 orang putra-putri yaitu: Lily Nabilah, M.Ag (lulusan Fak. Bahasa dan Sastra Arab Pascasarjana UIN Jakarta), H. Ahmad Kholid, Lc. M.Hum (lulusan Fak. Bahasa dan Sastra Arab Al-Azhar University Kairo, dan Fak. Ilmu Budaya Jurusan Sastra Arab Pascasarjana UI Jakarta), Minyatul Ummah, MA (lulusan Fak. Bahasa dan Sastra Arab Pascasarjana UIN Jakarta), dan Samhah Rozan (masih menempuh studi di Fak. Bahasa dan Sastra Arab Al-Azhar University Kairo).
Dalam mendidik putra-putrinya, Kyai Dawam sangat menekankan pentingnya penguasaan ilmu agama dan bahasa Arab. Menurut beliau, bila seseorang telah menguasai bahasa Arab maka ia dapat memahami ilmu agama Islam langsung dari sumbernya yaitu kitab-kitab turats warisan para ulama salaf yang ditulis dalam bahasa Arab. Selanjutnya, ia pun mampu memahami, meneliti, dan memperdalam sekaligus mensosialisasikan makna ayat-ayat Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an Al-Karim yang berbahasa Arab. Dengan demikian, insya Allah orang tersebut akan senantiasa mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Hal inilah yang senantiasa beliau wasiatkan kepada generasi penerusnya dan para santri yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren el-Nur el-Kasysyaf (YAPINK). Maka tak heran jika alumni-alumni pesantren ini dikenal kemahirannya dalam bidang ilmu agama dan bahasa Arab. Setidaknya, apabila mereka telah kembali ke kampung halamannya masing-masing mereka dapat berperan sebagai guru atau muballigh/muballighah sebagaimana yang beliau harapkan.
Sejak menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, beliau dikenal sebagai aktivis di berbagai organisasi, di antaranya: anggota GP Anshor Montong Tuban (1960-1964), anggota PMII Jombang (1964-1968), penasehat IPPNU Jombang (1964-1968), anggota Musyawarah Ulama NU Tebuireng (1964-1968), anggota penerangan DPC PMII Ciputat (1970-1972), Ketua Syuriah NU Bekasi (1977-1982), Katib Aam PBNU (1994-1998), Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB (1998-2001), dan anggota Dewan Syuro DPP PKB (2001 hingga akhir hayat beliau). Pengalaman demi pengalaman inilah yang akhirnya dapat mengantarkan beliau menjadi wakil rakyat di DPR/MPR sebagai utusan dari PKB. Hingga akhir hayatnya, beliau masih tercatat sebagai Penasehat F-PKB DPR RI, anggota F-PKB MPR RI, anggota Komisi I DPR RI, Wakil Ketua Pansus DATI II Bangka-Belitung DPR RI, dan anggota Komisi Fatwa MUI.
Kyai yang hobi berjalan kaki ini sangat teguh dalam berprinsip dan tegas dalam mendidik. Tak heran jika beliau terkadang dinilai otoriter oleh orang yang baru mengenalnya. Padahal, sikap dan kepribadian yang beliau tunjukkan itu semata-mata agar para generasi penerusnya dapat memiliki mental yang kuat, berkepribadian teguh (istiqamah) dan lurus (hanif) dalam mempertahankan ajaran agama Islam sesuai dengan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Di tengah-tengah perjuangannya memberikan keteladanan dan kemanfaatan bagi masyarakat, Kyai Dawam dipanggil kehadirat Allah swt pada hari Senin, 27 Januari 2003 pukul 12.45 WIB, di RS. Gatot Subroto Jakarta dalam usia 64 tahun. Almarhum meninggalkan kenangan yang begitu di indah di sanubari segenap keluarga, rekan dan santri-santrinya. Ajaran dan teladan beliau akan terus terpatri dalam lubuk hati paling dalam, dan generasi-generasi penerusnya akan selalu konsisten dengan misi dan perjuangan yang beliau tapaki. Semoga Allah meridhainya dan memberikan tempat terbaik bagi beliau dalam taman-taman syurga. Amin. []